5. Rumah dalam Perut ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================ SORE itu mendung menyelimuti langit. Suara angin mendesau-desau di luar. Kilat dan guntur terlihat dan terdengar silih berganti. Tak lama kemudian hujan pun turun. Mula-mula rintik-rintik, kemudian makin lama makin deras. Sambil menanti Ayah pulang, aku duduk di ruang tamu bersama Ibu. Saat itu aku heran melihat perut ibu yang bertambah gendut. “Kok perut ibu tambah hari tambah gendut, sih? Ibu makannya terlalu banyak, ya?” tanyaku. Ibu yang sedang menyulam kain, sejenak menoleh ke arahku. Ia tertawa Lirih. “Perut Ibu gendut bukan karena banyak makan, Ning. Tapi di perut ini ada adik,” bisik ibu sambil terus menyulam. “Ada adik?” aku terheran-heran. “Betul. Apakah kau tak ingin punya adik?” Ibu bertanya. “Apakah Ibu tidak bohong?” aku seolah tidak percaya. “Buat apa Ibu bohong, Ning.” “Tapi..., mengapa adik bisa di sini, Bu?” tanyaku sambil memegang perut Ibu itu. “Yang menaruh adik di sini Tuhan, Ning. Dialah Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, yang menciptakan alam semesta dan kita semua,” jawab Ibu. Aku mengangguk-angguk. Dalam hatiku bukan main senangnya. Betapa tidak, sebab sebentar lagi aku akan punya adik. Seperti apakah adikku itu nanti? Laki atau perempuan? Ah, kalau saja adik itu nanti seperti bonekaku, alangkah lucu! Aku tersenyum-senyum sendiri sambil membayangkan keadaan bonekaku yang bermata besar dan beralis tebal. “Bu...,” aku mulai berkata lagi. “Ya...?’ jawab Ibu sambil terus menyulam kain. L “Apakah Nining waktu kecil juga berada di perut Ibu seperti adik ini?” tanyaku. Ibu tersenyum. “Tentu saja, Ning. Dan kau juga nakal seperti adik ini. Suka menendang-nendang perut Ibu.” “Menendang?!” aku kaget. “Sakit, Bu?” tanyaku kemudian. Ibu menggeleng. “Cuma geli,” jawab Ibu sambil menahan tawa. Aku melepas napas lega. Tidak sakit, kata Ibu. Syukurlah. Kalau sakit, tentu kasihan sekali ibu. “Mengapa adik tak berada dalam perut Papa saja, Bu? Papa kan lebih kuat!” kataku Lagi. Ibu tertawa mendengar pertanyaanku yang lucu itu. “Papa kan laki-laki, Ning. Papa tak punya rumah dalam perutnya buat tidur adik,” jawab Ibu. Aku mengangguk-angguk. Wah, kalau begitu Ibu kaya sekali, sebab Ibu punya rumah dalam perutnya. Apa sajakah yang berada di rumah dalam perut Ibu itu? Apakah di sana juga ada tempat tidur, barital guling, buku cerita, kamar mandi, Lampu dan boneka? 0, tentu saja ada. Kalau tidak, mau tidur di mana adik? Dan kalau tak ada boneka, tentu adik akan menangis terus. “Bu, apakah perut Nining juga punya rumah?” tanyaku tiba-tiba. Sekali lagi Ibu tersenyum. “Tentu saja. Setiap wanita punya rumah dalam perutnya. Juga Nenek. Dulu waktu Ibu masih kecil, ibu berada dalam perut Nenek. Yang menaruh Mama di sana juga Tuhan. Setelah Ibu besar, barulah Tuhan menaruh adik dalam perut Ibu. Dan adik pertama yang berada dalam perut Ibu itu sekarang sudah keluar dan sudah besar!” “Siapa, Bu?” “Ya, kamu ini!” jawab Ibu sambil mencubit hidungku yang mungil. Aku tertawa. Ajaib sekali pemberian Tuhan itu. Aku tak habis pikir, bagaimana caranya Tuhan menaruh adik dalam perut Ibu? “Bu..?” kembali aku berkata. “Ya, sayang?” “Apakah di dalam perut Nining ini nanti juga ada adik?” tanyaku sambil memegang perutku sendiri. Ibu rersenyum. “Tentu saja, Ning. Tapi nanti kalau Nining sudah besar.” “Bagaimana caranya supaya adik bisa berada di perut Nining, Bu?” tanyaku lagi. “Caranya, berdoa kepada Tuhan, agar Tuhan memberi adik itu kepada kita,” jawab Ibu. “Apa tidak bisa sekarang, Bu?” “0..., tentu saja tidak bisa, Ning. Sebab kau masih terlalu kecil.” “Tapi Nining ingin punya adik!” kataku. “Lho, apa yang berada di perut Ibu ini bukan adik?” “Maksud Nining, adik yang berada di rumah dalam perut Nining sendiri!” tukasku. Kembali Ibu tertawa. Lalu Ibu memberi penjelasan, “Nining, tadi Ibu kan sudah bilang, Nining masih terlalu kecil. Tuhan tidak akan memberi anak kepada orang yang masih kecil, sebab orang itu belum bisa memberi nafkah pada anaknya. Aku mengangguk-angguk. Kini aku mengerti. Betapa Maha Besar Allah itu. Dialah Tuhan seru sekalian alam, yang menciptakan manusia penuh dengan keajaiban. ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================